![RED BALLOON]()
Cast:
Jung Yunho
Son Jung Ah
Kim Junsu
Genre: Angst. Romance, Sad | Length: Oneshoot | Written By: @Mischa_Jung
————————
Previous Part: 1 2 3
Semua terlihat gelap dan membosankan, terlihat sama saja dengan hari sebelumnya bahkan bertahun tahun lalu. Gedung gedung tinggi menjulang memadati ibukota, cercahan cahaya lampu berpendar dan juga kesibukan yang membuat istilah ‘town never sleep‘ semakin kuat pada julukan ibukota. Tidak ada yang bisa mengembalikan mood jeleknya termasuk pemandangan kota lewat jendela ruangannya. Ia selalu melakukannya pada waktu yang sama disetiap hari, memandangi kota yang tidak berubah.
“Ini malam yang indah bukan?”
Seorang wanita berbalut baju lingerie hitam berbisik mesra ditelinga lelaki yang berdiri, memandangi keluar jendela dengan tatapan datar. Yunho menyunggingkan smirk khas diwajahnya setelah menangkap suara nakal yang bermaksud menggodanya. Tangan wanita itu melingkar dipinggangnya dan menelusup dibalik kemeja yang dikenakannya, meraba otot otot diperutnya.
“Apa kau ingin membuatku tidak bosan malam ini?” tanya Yunho memutar tubuh, melihat jelas penampilan wanita tersebut.
Wanita itu cantik, meskipun lipstick merah dan riasan sedikit tebal masih menempel dikulitnya bahkan memiliki bentuk wajah dan tubuh hampir sempurna. Ia tahu semua keindahan yang ada dihadapannya itu diperoleh dari uang dan pahatan pisau bedah. Begitulah wanita, mereka selalu tidak pernah merasa puas dan selalu ingin menjadi paling sempurna. Ironis bukan?
“Aku akan membuatmu sibuk malam ini.” jawabnya membelai pipi Yunho dan tersenyum menggoda.
Yunho menyeringai puas atas respon wanita itu yang semakin gencar ingin membuatnya lebih bergairah “Baiklah…aku mempercayaimu. Bukankah Choi Gina paling hebat dalam urusan seperti ini.”
Gina tanpa basa basi segera merengkuh pipi Yunho, meraih bibirnya dengan lapar dan berciuman panas. Lelaki itu juga membalas sentuhan rakus dari bibir yang masih terpoles lipstick sehingga warna merah telah mencoreng kulitnya. Tidak peduli lagi kecuali nafsu sebagai lelaki normal telah terbangun. Ia tahu malam ini akan panjang dan berakhir dengan kepuasan diatas tempat tidur kamarnya.
Tidak pernah ada cinta kecuali hasrat nafsu.
—————————-
“Jika kamu membenci hidupmu, maka salahkan appa-mu!”
Tangan Junsu terkepal, urat nadi seolah menonjol jelas dikulitnya. Ia terdiam menunjukkan kedua matanya berkilat tajam pada seorang pria paruh baya yang tersenyum sombong dikursi kekuasaannya. Pria tua yang selalu memandang rendah dan mempermainkan nasib orang.
Junsu merasakan ketegangan mengelilingnya seolah nyawa terancam. Beberapa lelaki berbadan jauh lebih besar darinya dengan berjas hitam tepat dibelakangnya, seakan siap akan menghajar jika ia berani bertingkah macam macam.
“Dasar kau dan appa-mu tidak berguna! Kalian berdua sama seperti sampah. Pantas saja appa-mu mati sia sia.”
Hati Junsu semakin panas dan sesak seolah pisau dilumuri bara panas telah mencungkilnya kuat. Penghinaan terus saja dilontarkan yang memekakkan telinga seolah dirinya tidak pantas dihargai seperti manusia. Ucapan kasar itu tidak dapat diterima lagi.
“Kau tidak berhak menghina appa-ku, Tuan Jung Hyunsik!” Junsu berteriak geram dan sontak memukul meja, menimbulkan suara dentuman keras.
Pria disebut Jung Hyunsik menyunggingkan senyum licik. Dengan berani menatap mata penuh emosi Junsu dengan raut wajah menantang. Ia tidak akan pernah takut jika lelaki jauh lebih muda itu segera mencabik cabik mukanya. Lagipula bukankah ia sudah dilindungi senjata yang penurut sekaligus ganas seperti anjing herder.
“Apakah kau tahu apa yang akan terjadi?” ujar Hyunsik merendahkan kemudian melirik beberapa pria yang dimaksud senjatanya kini siap bergerak maju.
Kedua mata Junsu melebar ketika kerah bajunya telah ditarik kebelakang sehingga terpental ke lantai. Dirasakan pukulan menghantam rahang dan mengeluarkan darah segar mengalir sudut bibir. Junsu menyeka darah, menatap penuh kebencian satu per satu pria berjas hitam yang bekerja untuk lelaki tua arogan.
Belum sempat Junsu siap bangkit atau berniat membalas pukulan mereka, ia langsung dihadang pukulan membabi buta atau tendangan yang menyerang sekujur tubuh. Erangan kesakitan Junsu semakin keras dan tidak berdaya dibawah kekuatan para pria yang sudah diberi intruksi untuk berbuat kasar dan tidak manusiawi.
Pandangan Junsu agak mengabur, suara desahan kesakitan bercampur teriakan parau terus keluar dari bibir berdarahnya. Tidak dapat dibendung lagi atau melawan sendirian. Sepintas ia memenjamkan matanya dan merapatkan giginya, menahan sakit luar biasa. Pikiran buruk mulai menghantui kepalanya. Bagaimana ia akan mati disini? Atau mungkinkah mereka akan menghajarnya secara sadis sampai kehilangan fungsi anggota tubuhnya.
Hyunsik memandang datar Junsu kini tengah meringkuh, berusaha melindungi bagian tubuhnya. Sesekali lelaki itu bergerak untuk melayangkan sedikit perlawanan lemah. Tanpa belas kasihan seolah ia telah menikmati apa yang didepan mata. Menyaksikan penderitaan tanpa hati.
—————————–
Matahari kini berada dipuncak langit. Hembusan angin membawa hawa musim panas. Pancaran surya yang terik menembus jendela terbuka lebar diruangan serba putih. Gerak gerik wanita dalam ruangan dapat terbaca melalui pantulan bayang bayang mereka di lantai akibat cahaya matahari telah menerpa kedua sosok tersebut.
Jung Ah tengah menyisir lembut rambut wanita paruh baya. Sesekali diciumi sehelai rambut, menghirup wangi shampoo yang selalu dipakai wanita itu. Bau lembut bercampur wangi khas yang menempel dari tubuh ibunya. Ia meletakkan sisir di meja samping tempat tidur dan mengeluarkan senyuman termanis.
“Eomma sangat cantik.”
Wanita paruh baya hanya merespon dengan wajah datar dan tatapan kosong. Bibir kering itu tidak mengucapkan sepatah katapun menanggapi pujian dari putri tunggal. Setiap hari ia menampakkan ekspresi yang sama dan nyaris tidak pernah berbicara.
Awalnya senyuman ceria Jung Ah perlahan memudar, berubah menjadi senyum miris. Kemudian dipeluknya erat tubuh ibunya yang ringkih dan mudah rapuh. Jung Ah menempelkan telinga tepat didada ibu, sepasang matanya terpenjam.
Lantunan jantung berdetak lembut terdengar merdu ditelinganya. Mungkin orang lain mempunyai hobi mendengarkan musik tetapi bagi Jung Ah, tidak ada yang lebih nyaman selain mendengar suara organ sumber kehidupan ibunya.
Meski kau seperti ini tapi setidaknya kamu tetap hidup bersamaku…
Bibir Jung Ah tersenyum dan tidak ingin membuka mata bila saat saat seperti ini. Terlalu hangat dan nyaman untuk melepas diri dari tubuh ibunya, seorang yang ia miliki satu satunya dalam keluarga. Soal ayah? Jangan bicarakan tentangnya sebab hanya membuat hati semakin sakit dan kecewa.
Terima kasih tuhan, setidaknya kau masih menyisakan orang berharga dalam hidupku…
——————————-
Langkah Yunho menyusuri koridor rumah yang besar, persis istana dan diisi perabotan kelas atas bahkan beberapa dengan harga tidak ternilai. Bangunan luas ini terkesan sepi meski banyak penghuninya, sebagian besar sudah pasti anak buah dan pengawal, sisanya para butler, pengurus kebun dan koki. Ia tidak asing dengan lingkungan mewah sejak lahir dan dituntut menjadi sosok yang tidak berbeda dari ayahnya. Bayang bayang anak laki laki kesepian, bermain sendirian dalam kamar terlalu besar itu menelusupi benaknya.’
Ia membenci tempat yang memberi kedukaan cukup mendalam. Pertengkaran hebat, tidak memahami makna keluarga dan kematian ibunya setelah sidang penceraian. Semua kesedihan tertanam dalam rumah itu. Sisa sisa kenangan yang pernah membahagiakan seolah lenyap. Benar kata orang, kesedihan selalu lebih kuat.
Tiba tiba langkah Yunho terhenti tepat ia melihat orang lain yang keluar dari ruangan ayahnya. Seorang lelaki muda terhuyung huyung diseret kasar oleh dua pengawal ayahnya. Sekilas memperhatikan wajah pemuda yang sudah dipenuhi memar, pernafasan terputus putus dan tampaknya juga kehilangan tenaga.
Yunho termanggu sejenak, sesaat pandangan saling bertemu dengan sorot mata sayu pemuda malang sebelum dibawa pergi secara paksa. Tatapannya masih mengikuti arah pemuda itu sampai menghilang dibelokan bersama dua pria berbadan besar. Tanpa bertanya atau diberitahu siapapun, ia tahu pemuda malang itu pasti bernasib buruk disebabkan ulah seseorang.
“Cih…apakah menyenangkan melihat orang hampir mati, aboji?”
Gumaman Yunho terlontar penuh sindiran dan sangat muak. Tidak berniat sedikitpun menolong lelaki tak dikenal atau sekedar menghentikan. Ia tidak pernah ingin tahu atau peduli siapapun yang berurusan dengan ayahnya. Yunho memutar kenop pintu dan begitu pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju sosok pria sedang duduk dibalik meja dengan wajah sangat kaku menyambutinya.
“Apa yang kau inginkan?”
Yunho bertanya dengan nada tidak niat dan masih berdiri beberapa meter tak jauh dari tempat ayahnya duduk.
“Duduklah!” Suara tegas Hyunsik memerintahnya. Yunho mendengus lalu duduk dikursi hadapan ayahnya yang terpisah oleh meja.
“Katakan saja langsung pembicaraan penting?” tanyanya tidak senang berbasa basi.
Hyunsik menatap tajam putranya yang sedaritadi berbicara ketus. Ia memang tidak memiliki hubungan komunikasi menyenangkan bersama Yunho, semua terjadi tepat anak itu tumbuh dewasa dan sementara dirinya terlalu sibuk bekerja. Namun hubungan ayah dan anak semakin bertambah buruk semenjak Hyunsik berniat menceraikan ibunya.
“Kurasa sebaiknya kita bicarakan saat makan siang nanti.” ujar Hyunsik beranjak berdiri dari kursi kemudian beringsut pergi.
Tepat suara pintu tertutup setelah ayahnya keluar dari ruangan, Yunho mendengus tidak senang. Berapa banyak lagi waktu harus berlama lama dirumah ini, ditempat yang selalu membuatnya merasa tercekik.
——————————
Sorot mata Jung Ah menelusuri berbagai yang muncul dalam pandangannya. Beberapa pasien bermain main, suster berlalu lalang menjaga pasien dan beberapa orang tampak normal duduk dibangku taman depan rumah sakit jiwa. Pemandangan yang sama dengan siang kemarin bahkan hari hari sebelumnya.
Melalui pantulan kaca jendela, Jung Ah menatap sosok ibunya sedang terbaring diatas kasur dan nyenyak disana. Ia mengusap sedikit air disudut mata yang meleleh tanpa sadar. Tiba tiba ia melupakan bagaimana wajah ibunya tersenyum atau bagaimana suaranya jika memberi nasihat untuk putrinya telah tumbuh dewasa. Sudah terlalu lama ia harus bersabar melihat sosok menyedihkan ibunya. Tidak tega.
Andaikan saja appa tidak berselingkuh..
Andaikan saja appa tidak meninggal secepat itu…
Mungkin saja kita tidak akan seperti ini…
Nasib memang tidak dapat direncanakan oleh manusia itu sendiri, maka ia tidak bisa berbuat apa apa jika Tuhan sudah menakdirkan padanya. Sedih memang tapi bukankah ibunya pernah berpesan untuk tetap mensyukuri apapun keadaan.
Apa takdir mengenaskan patut disyukuri?
Kalau begitu yakini saja Tuhan akan selalu ada untukmu. Doa adalah satu satunya cara dan percayalah padanya…
Terngiang ngiang suara ibunya sebelum memasuki rumah sakit jiwa, masih berkehidupan seperti ibu rumah tangga normal pada umumnya. Mungkin inilah salah satu menjadi alasannya tidak berpaling dari Tuhan. Setiap ingin menjeratkan tali dileher atau menggoreskan silet dipergelangan tangan, nasihat itu muncul begitu saja dalam ingatan seolah peringatan.
Jung Ah menghembuskan nafas panjang, menyudahi pemikiran sedihnya. Lagipula ia masih punya seseorang lain yang bisa memberinya kebahagiaan. Wanita itu menyambar ponsel, menekan kontak nomor telepon yang sudah hafal diluar kepala. Ditempelkan ponsel ketelinga dan menunggu respon dari penjawab sambil menyungging senyum kecil.
“Junsu-yya…” ujarnya ketika hubungan telepon terjawab setelah memakan waktu beberapa detik.
“Jung Ah..”
Keningnya berkerut setelah mendengar suara lelaki diseberang. Ia lantas melanjutkan lagi.
“Apa kau baik baik saja?”
“Hhh…a..aku baik saja.“
Telinganya menangkap keganjilan dibalik suara Junsu. Deru nafas terengah engah bercampur desis ringgisan seperti sedang berusaha menahan kesakitan. Lelaki itu terdengar berbeda dari biasanya.
“Kau berbohong.” sahut Jung Ah tegas tapi bernada getir. “Sebenarnya kau tidak baik baik saja kan?”
“Jung Ah, jangan meracau! Aku baik baik saja, sungguh…..”
Wanita itu terdiam sejenak, mengigit bibir bawahnya cemas “Aku tahu kau. Jebal… Kau dimana? Aku ingin menemuimu.”
“Bicara apa kau? Jangan bicara tidak tidak…ouch..”
“Cepat lekas beritahu dimana kau!”
Jung Ah spontan meninggikan suaranya. Rasa panik mulai menguasai dirinya sehingga ia tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia yakin Junsu dalam kondisi jauh dari kata ‘baik baik saja’ bahkan mudah mengetahui bagaimana lelaki itu berbohong hanya dengan melalui suara. Pikiran mulai dipenuhi bayang bayang terburuk tentang kekasihnya dan bergumam, berharap hal paling buruk tidak terjadi.
“Yoboseyo..yoboseyo…” Jung Ah mendapatkan suara telepon yang terputus secara sepihak. Ia menggelengkan kepalanya yang mulai pusing, jantung berdebar kencang, dan pupil mata melebar cemas.
Tanpa berpikir panjang, ia menyambar tas dan sempat mengecup kening ibunya sebelum keluar ruangan dengan langkah tergesa gesa. Kini seluruh saraf otaknya seolah dipenuhi kebimbangan tertuju pada Junsu. Ia perlu memastikan sendiri keadaan kekasihnya.
—————————-
Daerah perumahan kumuh yang terlalu sepi. Tak ada satupun orang berkeliaran disana dan entahlah kemana penduduk situ. Tak ada tanda tanda manusia kecuali Junsu sedang menyeretkan kakinya, berusaha berjalan dan tangannya juga aktif untuk meraba sesuatu yang bisa menjadi penompangnya. Nafasnya tersenggal senggal dan dada bidangnya naik turun. Tulang rusuk dan bagian dada seolah hampir remuk. Goresan luka serta memar yang membiru tersebar hampir diseluruh tubuhnya bahkan dibagian tubuh vital.
Tangan Junsu melemas sehingga ponsel dalam genggamannya tak sengaja terlepas. Ditatapnya ponsel yang tergeletak tepat di depan sepatu ketsnya, kemudian ia membungkuhkan tubuhnya, bermaksud mengambil ponselnya. Tiba tiba ia merintih kesakitan, memar diperut telah berdenyut hebat akibat tekanan diperut. Darah dipelipis juga mengalir membuat kepala terasa pening dan luka luka dikulitnya pun sangat perih.
Ia kemudian menegakkan tubuhnya kembali setelah menahan sakit untuk mengambil ponsel. Disandarkan tubuhnya ke dinding. Lutut Junsu melemah, nyaris sudah tidak kuat menompang tubuhnya sehingga ia terduduk lemas. Tidak sanggup menggunakan kedua kakinya untuk berjalan setelah dipukul cukup keras oleh beberapa pria berbadan tegap dan jauh lebih besar dibandingkan tubuhnya.
“Aisshh….sial!” maki Junsu menyadari tidak ada satupun yang melewati jalanan ini.
Rupanya para bandit sengaja melempar dirinya ke jalan sepi dari mobil setelah menghajar habis habisan. Ia sebenarnya tidak memiliki kesalahan apapun pada mereka, hanya saja karena nasib malangnya. Andai saja orang tua tidak meninggal secepat itu dan bisa menyelesai utangnya, mungkin Junsu tidak akan mendapatkan pukulan, luka dan memar.
Junsu menghela nafas, keringat bercucuran sampai kaos putih lusuhnya itu sedikit basah. Saat itu matahari bersinar amat terik, menambah penderitaannya. Kedua mata Junsu menatap sedih langit musim panas. Ia yakin kecemasan namdongsaeng-nya, Junho bertambah setelah menemukan hyung-nya diseret paksa keluar oleh para lelaki berpakaian serba hitam. Masih ada seorang lagi yang merasuki pikirannya selain Junho.
Terngiang ngiang suara panik wanita itu lewat telepon. Tidak seharusnya ia memutus sambungan telepon saat Jung Ah memaksanya menjawab dimanakah dirinya berada. Ia terpaksa dan semua itu beralasan.
Jung Ah, mianhae….
Junsu menghela nafas panjang dan memenjamkan matanya sejenak. Rasanya ia telah menjadi lelaki tidak berguna dan tidak bisa berbuat apapun. Beberapa detik kemudian, Junsu memutuskan membuang pikiran lemahnya dan mengumpulkan sisa tenaga, ia berusaha bangkit dari posisi duduknya meski harus bertumpu pada dinding. Lelaki itu kembali mengayunkan kakinya, melanjutkan perjalanan pulang.
Setelah hampir memakan waktu setengah jam, ia akhirnya melihat bangunan rumahan kecil dari kejauhan. Tinggal beberapa langkah lagi ia bisa kembali ke tempat yang disinggahi bersama namdongsaeng dan berbaring di kasur empuknya. Nafasnya terengah engah setelah berjalan dengan jarak yang cukup memakan tenaga, ditambah lagi cuaca panas membuatnya semakin tersiksa selain menahan rasa sakit ditubuh.
Sambil memegangi luka diperut, Junsu tetap memaksakan diri mengayunkan kakinya meski sudah tertatih. Ia tidak akan takut jika seandainya para rentenir datang untuk menghancurkannya jauh lebih parah dari ini. Ini bukan pertama kalinya ia menerima pengeroyokan tanpa belas kasihan.
“Junsu…”
Spontan langkah Junsu terhenti, ia mendadak terdiam sejenak dan tubuhnya menegang sesaat. Perlahan dia menoleh kebelakang, menelan ludah yang tercekat ditenggorokan. Jung Ah berdiri disana, menampakkan raut kekhawatiran dan nafas juga tidak teratur. Mulut Junsu terkatup rapat dan membuang muka sekilas, benaknya memaki.
Sial…aku tidak mau kau melihatku dalam keadaan seperti ini.
Jung Ah mengerjapkan matanya berkali kali sambil membekap mulutnya, terkejut setelah menemukan wajah kekasihnya penuh luka dan memar. Sementara lelaki itu masih menghindari tatapannya.
“K..kau terluka?” tanya Jung Ah menghampiri Junsu. “Hei..jawablah! Lekas beritahu aku apa yang terjadi sebenarnya!” tambahnya menyerang kalimat penuh paksaan.
“Aku baik baik saja. Berhentilah menjadi wanita cerewet!” Junsu menjawab sedikit keras, kemudian menelan ludah ketika menangkap wajah sedih Jung Ah menatapnya terkejut. “Jangan khawatir! Ini karena aku melerai pertengkaran dua orang mabuk barusan. Tenang saja, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Lagipula dua orang mabuk itu sudah dibawa kepolisian.”
Kebohongan terpaksa keluar dari mulut Junsu. Ia mengarang alasan masuk akal. Untuk semakin meyakinkan gadis itu, Junsu mengeluar cengiran konyol dan merangkul pundak Jung Ah. Ditatapnya lekat lekat wajah cantik yang selalu saja mudah memikatnya semenjak pertama kali bertemu. Bedanya dipertemuan pertama, ia hanya melihat senyuman polos seolah tanpa beban, bukan ekspresi panik dan khawatir seperti dilihatnya sekarang.
“Tenanglah! Aku ini sangat kuat lebih dari dugaanmu. Asal kau tahu, aku merasa semakin keren setelah melerai pertengkaran. Ahhh…rasanya aku seperti tokoh yang gentleman dalam drama TV.” ujar Junsu menyengir penuh bangga.
Ekspresi cemas Jung Ah masih belum berubah. Ia menyentuh pelan luka disudut bibir Junsu. Sepasang matanya terus menjelajah luka dan memar lain dengan miris.
“Daripada terus terusan mengasihaniku, sebaiknya kau menjadi perawat untukku saja. Kebetulan aku butuh suster cantik dan juga….” sahut Junsu lalu ditariknya tangan Jung Ah. Tepat tubuh gadis itu semakin dekat, ia sigap mengecup bibir kecilnya yang manis. “Bisa dicium olehku.” sambungnya mengedipkan sebelah mata.
Pipi Jung Ah bersemu dan ia sempat tertegun sebentar. Kemudian gadis itu buru buru menekuk sudut bibirnya kebawah, berpura pura jengkel dengan surprise kiss. Lantas dipelototi kekasihnya masih tersenyum seraya ingin terus bermain main dengannya.
“Jangan memasang wajah seperti itu! Nanti aku akan menciummu lagi disini, didepan umum..”
“Tidak tahu malu! Playboy! Nappeun!”
“Hei…omonganmu tajam sekali. Aku tidak akan iseng lagi. Ayo kita masuk saja, obati aku sekalian!” ujar Junsu merangkul pundak Jung Ah, menyeretnya masuk kedalam tempat tinggalnya, rumah kontrakan murah dan sedikit kumuh.
Diam diam, Junsu menghela nafas lega. Setidaknya Jung Ah tidak menyerang pertanyaan lagi. Berharap dia tidak pernah tahu apa yang disembunyikannya. Ia tidak ingin beban Jung Ah bertambah sulit hanya karenanya. Wanita berada disisinya, itu saja sudah cukup.
———————–
Seorang lelaki tidak memperdulikan hidangan khas barat sudah tersedia dihadapannya, menyentuhnya saja tidak. Salah satu butler menuangkan wine putih sampai setengah gelas dan langsung menundukkan kepala dalam, berusaha menghindar ketika lelaki muda berwajah tidak ramah meliriknya sinis. Ia membenci apapun yang ada disitu, ingin segera keluar dari tempat ini.
Hyunsik, ayahnya yang awalnya mengatakan ia akan berbicara saat jam makan siang tapi sudah hampir lebih dari 15 menit tidak kunjung mengatakan apapun kecuali menikmati hidangan makan siang dari chef pribadi kebanggaannya. Yunho yang pada dasarnya bukan orang sabaran itu menenggak wine putih dan beranjak berdiri, menimbulkan suara gesekan kaki kursi yang bergerak mundur.
“Duduklah! Aku belum mengijinkanmu pergi.” Hyunsik membuka suaranya tanpa beralih dari aktifitas memotong steak, tetap mengunyah daging dimulutnya dengan tenang.
“Apa kau sedang ingin bermain denganku?” Yunho berkata ketus. “Aku akan pergi jika aboji tidak ada urusan apapun untuk memanggilku. Berada disini hanya membuang waktuku.” tambahnya berbalik, bersiap pergi.
“Kahi, masuklah!”
Kedua kaki Yunho refleks terhenti sebelum dua langkah lagi keluar dari ruang makan. Nama yang meluncur dari bibir ayahnya itu membawa seorang wanita berpenampilan elegan berjalan masuk ke dalam ruang makan. Wanita dengan kemeja tosca dipadu straight skirt berwarna krem itu membungkukkan kepala sopan tepat dihadapan Yunho.
“Annyeong hasimnika. Park Kahi imnida. Senang bertemu dengan anda.” ujarnya memperkenal diri secara formal lalu ia beradu pandang dengan lelaki -yang tak lain adalah Hyunsik- melalui pundak Yunho.
“Yunho, beri salam padanya!” lanjut Hyunsik namun tidak diindahkan oleh putranya.
“Siapa wanita ini?” tanya Yunho dingin masih berdiri membelakangi ayahnya dan menatap skeptis Kahi, wanita belum pernah dilihatnya.
“Dia alasanku memanggilmu datang kesini.” jawab Hyunsik.
Tawa Yunho menggelegar dan memutar tubuhnya, melihat jelas sosok ayahnya masih berada diposisi sama “Tidak perlu berputar putar, langsung saja katakan saja intinya!”
“Aku akan menikahinya bulan depan.”
Seolah ada petir menyambar tepat dijantung Yunho, ia tertegun dan merapatkan bibir. Ingin berpikir ini adalah lelucon tapi ayahnya tampak serius dan pernyataan itu tidak main main. Entahlah tiba tiba pernafasan seolah susah dihembuskan dan tangannya mengepal keras, menahan sesuatu yang menyiksa dalam diri.
“Aku ingin memperkenalkan pengganti eomma-mu.”
Rasanya saat itu juga Yunho ingin mengebrak meja dan menyingkirkan segala yang ada dimeja makan sebagai bentuk pelampiasan kemarahan. Meski ia tidak menyukai ayahnya dan selalu bersikap tidak peduli tapi entah mengapa kabar itu malah membuatnya seolah dicabik cabik. Ia pun menoleh wanita persis dibelakangnya, tersenyum manis, mengeluarkan mimik yang setidaknya lebih ramah dibandingkan sebelumnya.
“Apakah kau bisa menjadi eomma-ku?”
“Ne…aku berharap kita bisa akrab meski mungkin akan sulit pada awalnya.” jawab Kahi membalas senyuman Yunho. Ia awalnya sempat tegang karena telah berpikiran lelaki itu mungkin akan bersikap tidak menyenangkan padanya setelah mendengar banyak desas desus tentang sifat Jung Yunho.
“Benarkah?” Yunho bertanya dengan senyuman masih tersungging diwajahnya. “Tapi kurasa aku tidak akan pernah bisa akrab dengan wanita sepertimu.”
Raut wajah Kahi berubah terkejut ketika menemukan perubahan wajah Yunho yang sempat terlihat ramah kini begitu menakutkan dan tajam. Ia menahan nafas seketika saat lelaki muda itu mengambil langkah lebih dekat. Wangi parfum aigner cukup mencolok dihidung Kahi membuat jantung semakin berdenyut cepat, gugup. Wajah yang tampan itu terlalu dekat seolah mudah menaklukkan wanita manapun.
“Sepertinya kau belum terlalu tua. Berapa umurmu?”
“Umur 30 tahun.” jawab Kahi berusaha tenang dan memperlihatkan dirinya sebaik mungkin.
“Ah! Hanya lebih tua dua tahun dariku.” Yunho berujar datar, memandangi Kahi penuh rencana dan senyuman semakin sulit diartikan. Didekatkan bibirnya tepat disebelah telinga Kahi “Daripada menjadi istri seorang lelaki terlalu tua untukmu, sebaiknya kau pergi bersamaku dan akan kuajari banyak hal termasuk urusan ditempat tidur sebab aku ahlinya.”
“YUNHO!!!!Jaga mulutmu!”
Ujung bibir Yunho terangkat sebelah, menyeringai puas. Suara ayahnya menggelegar penuh amarah itu memperingatkannya. Sepertinya ia terlalu kelewatan telah menggoda wanita yang akan menjadi istri baru ayahnya. Ia kembali menatap lekat wajah Kahi yang mulai memucat lalu diangkatnya dagu runcing wanita itu, mempertemukan kedua matanya.
“Jika kau ingin menjadi orang bahagia dan dikelilingi kemewahan, disini bukan tempatmu sebab putra calon suamimu akan mengacaukan segalanya. Maka pergilah sebelum terlambat! Masih ada kesempatan untuk itu.” bisik Yunho sedikit mengancam, sengaja memancing kemarahan ayahnya.
“Kau ini benar benar breng…” Ucapan Hyunsik terpotong setelah sadar dirinya hampir saja melayangkan makian didepan wanita dan putranya.
“Kurasa sebaiknya aku pulang saja.” Yunho tersenyum remeh dan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana. Ia sempat menoleh kearah dua orang sebelum menghilang dari pandangan mereka “Ah…aku baru saja melupakan satu hal. Tidak perlu mengundangku ke pernikahan kalian sebab aku tidak akan pernah datang. Selamat tinggal.”
Begitu selesai mengatakan ucapan tersebut, Yunho mengambil langkah jauh jauh dari ruang makan. Ekspresi sinis perlahan membentuk raut muram dan kedua mata menjadi sendu. Menutup hati kecewa dengan melemparkan sindiran ternyata belum cukup membuatnya puas dan lega. Mungkinkah ia perlu mengacaukannya nanti.
—————————–
Wanita dalam pantulan kaca cermin itu sibuk merapikan rambutnya, mengikatnya dengan karet. Disibak ujung rok lipit selutut pink bermotif kotak dan membenarkan letak pita besar yang melingkar di kerah leher. Pakaiannya sudah rapi, sempurna.
Jung Ah mengerlingkan matanya ke arah penutup wajah berbentuk kepala tokoh boneka gadis cute berambut cepol dua. Ia selalu mengenakannya hampir tiap hari. Menjadi maskot taman bermain Everland bukan sesuatu yang mudah bahkan ini pekerjaan sangat melelahkan. Harus menyesuaikan diri dari cuaca panas atau dingin terutama jika sudah memakai penutup kepala. Ditambah lagi ia diwajibkan bertingkah ramah dan mengeluarkan gerakan ceria, sesuai dengan image maskot.
Do the best for yourself, for your life…
Ditutupnya kedua mata, mengambil pasokan oksigen agar memenuhi ruang paru paru. Ia perlu merefleksikan diri sebelum memulai pekerjaan. Cara terjitu untuk mengumpulkan semangat dan jiwa menjadi lebih rileks. Bukankah ia akan menyebarkan energi positif yang menceriakan pengunjung taman bermain nanti.
“Jung Ah…giliranmu. Cepatlah keluar!” sahut lelaki juga merupakan pekerja ditaman bermain itu melonggokan kepala dari balik pintu kemudian berlalu.
Terdengar suara teman menginterupsi ditelinganya, bibir Jung Ah ketarik keatas dan tersenyum simpul. Ia berbalik, membelakangi kaca cermin lalu diraihnya penutup kepala itu.
Langkah kecilnya menuju keluar ruang ganti dan kedua pandangannya menangkap takjub keramaian hiruk pikuk taman bermain. Dihelanya nafas lembut dan memasang penutup wajah maskot itu sehingga menutupi seluruh kepalanya. Bekerja keras dimulai dari sekarang. Dalam benak hatinya mengumam.
Akulah badut maskot yang bersemangat dan siap menceriakan siapapun.
———————–
Jung Yunho, lelaki itu berdiri ditengah tengah orang orang berlalu lalang dengan wajah bahagianya. Tawa khas anak anak dan gemuruh perbincangan orang dewasa, suara gesekan atraksi bermain sedang bekerja atau lantunan melodi ceria berasal dari speaker. Berbagai macam suara telah menyatu dalam suasana tidak kunjung berhasil mengubah ekspresi lelaki itu selain raut suram tanpa senyuman, sangat tidak sesuai dengan situasi sekitarnya.
Tatapan nanar bergantian memandangi apapun ditangkap oleh daya penglihatan. Mereka yang bersenang senang, mereka yang tersenyum, dan mereka yang berbahagia. Yunho tidak merasakan satu pun perasaan yang sama dengan orang orang disekitar, kecuali kesedihan yang sudah lama mengendap dalam dirinya. Tak lama hingga ia melangkah lurus dengan langkah gontai.
Anak laki laki tengah berjalan melewati Yunho, kedua tangan digenggam oleh pasangan suami istri yang berjalan berdampingan. Keluarga sempurna persis cerita dongeng. Dalam sudut pandangnya, Yunho dapat menemukan tawa yang dipenuhi kehangatan dan sesuatu yang indah diantara mereka atau disebut kasih sayang. Memandanginya dengan jantung berdenyut sakit. Apa yang dilihat tentang keluarga bahagia itu merupakan refleksi dirinya.’Semua terlihat hidup meski hanya sekedar bayang ilusi. Kenangan tidak akan pernah mati dan manusia akan selamanya terperangkap dalam ingatan, seperti kata orang kebanyakan. Ada gejolak kuat memukul dadanya, membuka satu per satu layar ingatan masa kecil.
Dulu kami bahagia, aku masih tidak paham kenapa perasaan itu bisa hilang? Mengapa orang begitu cepat berubah? Semua telah berbeda termasuk diriku juga.
Aboji….apakah rasa cintamu memang sudah hilang? Lupakah dirimu? karena keegoisanmu, eomma harus mati. Seandainya keputusan cerai itu tidak pernah ada, mungkin saja aku dan eomma tidak perlu semenderita ini. Kau pembunuhnya dan juga…
Telah menghancurkan hidupku, aboji…
Dada bergemuruh kencang, semakin terkoyak dengan rasa sakit. Ia tidak bergeming lagi dan lagi lagi luka membasuh jiwanya yang tandus. Ayah berniat menikahi wanita yang sedikit lebih tua darinya, bersama wanita lain setelah kematian ibu sudah terlewati setahun. Sementara dirinya telah bersenang senang dengan entah berapa banyak wanita tapi tidak satupun dapat melampui kuat hatinya. Baginya hidup cuma bernafas dan makan 3 kali sehari, ia tidak punya alasan selain itu.
Yunho merindukan masa masa yang terkunci dalam ingatan. Menikmati wujud kenangan lama kemudian merasakan sakit yang sama seperti sebelumnya. Sepertinya ia membutuhkan sesuatu yang orang orang mengatakan itu adalah karunia dari perasaan -cinta-. Dia menginginkan chemistry itu kemudian merasakan sensasi yang dialami dari perasaannya. Benaknya terus berbicara sendiri.
“Tuan…”
Yunho tersentak. Sebuah suara lembut memecahkan kesunyian dalam diri. Tertegun, pandangannya terlempar persis dihadapannya. Siluet manusia berwajah cute, tidak itu lebih tepat wujud topeng badut maskot. Ia tidak tahu bagaimana rupa asli dibalik penutup kepala tapi Yunho yakin dari suara pemiliknya adalah wanita.
“Apa kau baik baik saja?” tanya wanita berpenampilan badut maskot, nada khawatir tertangkap jelas disana.
Yunho tidak kunjung menjawab, tidak bereaksi apapun kecuali memandanginya dengan tatapan kosong. Ujung matanya melirik balon balon berbagai warna didalam genggaman badut maskot.
“Kau tertarik dengan balon?” Badut itu bersuara lagi setelah menemukan pandangan lelaki yang tertuju pada balon.
“Tidak…” jawab Yunho lugas. Yang benar saja, apa aku terlihat seperti orang kurang sadar umur untuk menyukai balon. Ia mendongahkan kepala kearah atraksi bianglala yang besar dan tinggi menjulang menembus langit.
![]()
Badut maskot itu mengikuti arah pandangan lelaki yang begitu lekat kearah bianglala. Dibalik penutup kepala, ia dapat membaca rona wajah muram yang tidak kontraks dengan orang orang yang biasanya akan menyapanya senang atau sekedar melempar senyum jika dirinya datang. Tanpa mencari tahu apapun, ia yakin lelaki ini bukan orang tengah berbahagia.
“Tuan…”
Pandangan Yunho teralih kembali dan menatap badut maskot dengan datar.
“Mungkin kau tidak menyukai balon tapi kau bisa menggunakan ini untuk membuang perasaan yang terusik dan terbangkanlah ke langit bersama doa doamu.”
Badut maskot berbicara lembut senantiasa menyerahkan balon merah. Tak sedikitpun kata keluar dari bibir Yunho. Ia terdiam, masih membisu memandangi tangan putih dan halus tengah mengenggam tali pita balon. Entah darimana dorongan itu berasal, ia akhirnya menyambuti balon itu dari badut maskot.
“Doa adalah satu satunya cara dan percayalah padanya. Tuhan selalu bersama kita.”
Jantung Yunho berdetak lebih cepat, apapun terucapkan wanita yang belum diketahui wujudnya telah bergetar jelas dalam jiwa. Kalimat terakhir telah mengambil alih penuh akalnya dan membuat tidak bergeming, merenung seperti orang bodoh. Wanita itu telah mengajarkan apa yang belum pernah terpikirkan olehnya.
Ia kembali pada kesadarannya. Kedua mata kali ini bahkan mulai detik sekarang itu tidak pernah lepas dari sosok badut maskot. Wanita itu tampak ceria, bermain main dalam kerumunan bocah bocah mengelilingnya. Sesekali dia mengangkat tinggi balon balon seraya menggoda para bocah sedang berusaha melompat setinggi mungkin, menggapainya.
Meski dipenuhi tawa manja kekanakan para bocah, ia masih dapat menangkap jelas suara tawa wanita yang bergema ditelinganya, seakan berdering seperti bel.
Badut maskot tengah melambaikan tangan ramah pada semua bocah yang satu per satu meninggalkan dengan wajah bahagia serta sebuah balon ditangan masing masing. Yunho masih berdiri dibelakangnya, masih tidak bosan merekam jelas bagaimana gerak gerik wanita itu dalam pandangannya.
Setelah menyelesaikan kerjaan dan balon pun habis, badut maskot itu sekilas meregangkan tangan dan mengayunkan langkahnya kesuatu tempat. Kedua mata lelaki itu hanya bisa memandangi punggung mungil yang berjalan didepannya dengan penasaran, mengikuti wanita dibelakang.
Yunho berhenti melangkah saat dirasanya badut maskot menghampiri mesin penjual minuman dan membeli sekaleng orange juice. Begitu mendapatkan sekaleng minuman itu, dia duduk dibangku kosong tepat disamping mesin penjual minuman. Yunho kini bersandar di salah satu tiang lampu, masih belum melepas ketertarikan dari kejauhan.
Kedua alisnya terangkat cepat menandakan jika ia sedikit tersentak, sejenak bola matanya menatap lekat lekat setelah muncul wajah yang baru saja terbebas dari penutup kepala. Tercekat dan tidak menyangka wajah tersembunyi begitu cantik.
Bulir keringat menelusuri kulit putih halus, sepasang mata kecoklatan tidak terlalu besar tersiratkan kelembutan, pipi dengan rona persis buah peach, dan bibir kecil kemerahan. Wanita badut maskot sengaja menaruh penutup kepala dipangkuan lalu ditempelkan kaleng orange juice dingin dileher. Sekilas dia tersenyum persis anak kecil merasakan kesejukan setelah memakai penutup kepala berjam jam.
Bukan kali pertama Yunho melihat wanita cantik, ia bahkan terlalu sering menemukan di club malam yang selalu didatangi dan berkencan semalam dengan mereka. Ia namun kali ini menanggapi wanita badut maskot dengan cara berbeda, dengan hati yang berbeda dibandingkan pertemuan wanita club.
Sudut bibir Yunho terangkat, membalikkan tubuh. Ia berjalan dengan langkah santai seolah sudah lupa apa yang membuatnya sedih pada sebelumnya. Beberapa langkah menjauh, Yunho berhenti lagi, tersadar balon masih dalam genggaman.
’Doa adalah satu satunya cara dan percayalah padanya. Tuhan selalu bersama kita’.
Tanpa disadarinya ia menempelkan tangannya tepat didada. Tidak dapat mengelak jika keadaaan jantung tampak berbeda, bergejolak dan terasa asing baginya. Dalam pikirannya terus merengkuh bayangan sosok wanita yang berhasil merebut alih dirinya dalam waktu sangat singkat, ia jelas masih mengingat wajah dan kata kata itu. Bibirnya mengumam doa seperti apa yang dianjurkan badut maskot.
“Dear God, if I meet her again. I’ll makes her should be mine. I believe about an destiny.”
Yunho melepaskan tali pita balon ke udara. Iris hitam kelam menatap balon merah melayang bebas ke langit bersama doa yang diterbangkannya.
—————————–
Gemuruh club malam berisik seperti biasanya, sudah terbiasa berada ditengah suasana seperti itu. Yunho menatap kosong ke dance floor dipenuhi penganut kebebasan sedang tengah bergoyang penuh semangat seakan hidup hanya bersenang senang. Wanita sibuk meliukkan tubuh seksi dan melempar kerlingan mata menggoda.
Yunho yang dari awal hanya mengeluarkan ekspresi datar, tapi wanita wanita itu tidak henti hentinya melonggok kearahnya. Entahlah mungkin karena lelaki ini memang mempesona secara fisik dan penampilan sehingga kehadirannya mencolok. Bukankah wanita menyukai lelaki tipikal dingin dan menganggap itu keren.
Tak lama ia kemudian menuju meja bar, terlalu bosan dan tidak ada niat sedikitpun untuk berkencan. Ia duduk di kursi tinggi yang menghadap meja panjang dan rak etalase penyimpanan berisi gelas gelas berjajar dengan berbagai jenis botol minuman beralkohol. Setelah duduk, seorang bartender langsung menghampirinya, akan melayani.
Sekilas pandangannya bertemu sejenak dengan tatapan bartender. Memar dan luka yang tampak sudah diobati diwajah. Pandangan selektifnya perlahan turun dibagian dada si bartender, tepatnya pin bertulisan ‘Kim Junsu’. Sudut bibirnya terulas seringaian kecil.
Kita bertemu lagi, pria malang. Tampaknya kau cukup kuat, Yunho ingin berkata seperti itu tapi tidak ada satupun kata kata keluar dari mulutnya.
“Anda ingin minum, tuan?” Junsu bertanya sopan dan sedikit risih. Tatapan lelaki itu membuatnya tak nyaman, ditambah lagi sorot mata tajam yang terkesan negatif.
“Liquor screwdriver..”
Junsu mengangguk, secepatnya ia menuju rak etalase dan menyiapkan gelas kaca beserta botol liquor dan vodka. Diraciknya kedua jenis alkohol bahan dasarnya kedalam segelas orange juice sehingga menghasilkan liquor screwdriver. Keahlian bartender semakin terlatih setelah beberapa bulan bekerja.
“Silahkan, tuan.”
Gelas berisi liquor screwdriver sudah didepannya, Yunho menyesapnya pelan dan menikmati rasa pekat dilidah bercampur alkohol. Tidak disangka lelaki malang ternyata bartender di club Silver, biasanya ia lebih suka berada di private lounge dibanding berbaur dengan orang lain di meja panjang sudut ruangan. Namun malam ini ia tidak ingin sendirian.
Junsu tengah mengelap meja panjang yang baru saja ditinggalkan pelanggan. Ia mendesah setelah menaruh kain lap dan melirik jam masih menunjukkan pukul setengah 11 malam. Waktu subuh masih lama, ia harus bertahan dan terjebak kedalam kebisingan. Seharusnya aku tidak melakukan pekerjaan ini, benaknya menggerutu dalam ketidaksiapan diri harus kuat tanpa tidur sepanjang malam.
Bola mata Junsu dilayangkan kearah dance floor yang semakin ramai. Sebagai lelaki normal, ia akan dimanjakan oleh pemandangan dimana wanita bertubuh seksi atau berpenampilan cukup liar telah berseliweran tapi dirinya malah menolak kenikmatan itu. Jung Ah masih tetap terbaik dibanding mereka, wanita menjaga harga diri memang lebih baik, ia membuat kesimpulan mudah.
Sejenak Junsu mengalihkan perhatiannya dari dance floor, mendadak kedua mata terpaku pada wanita berbalut dress selutut dibalik baju coat merah, rambut hitam panjangnya melewati pundak yang sengaja digerai membuat wajahnya innocent semakin memikat. Spontan menarik sudut-sudut bibirnya, membentuk seulas senyum lebar.
![]()
“Tidak biasanya kau sudi masuk kesini, Jung Ah.” Ia berdiri, sedikit menekukkan lututnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah wanita yang baru mendekati meja.
“Err…aku sebenarnya tidak ingin tapi..” lirih Jung Ah yang tiba tiba tidak menyelesaikan ucapannya, ia menatap wajah Junsu dengan perhatian. “Sepertinya luka luka itu sedikit lebih membaik.”
Junsu tertegun, kedua mata itu menangkap pandangan Jung Ah lalu tangannya membekap mulutnya sendiri sedang tertawa kecil.
“Apa yang kau tertawakan?” Jung Ah menggerutu dengan wajah merenggut, semakin terlihat konyol dimata Junsu.
Menggemaskan, pikir Junsu dan tawanya seketika berubah menjadi seulas senyuman simpul. Ia menompang dagu dengan sebelah tangan, pandangan masih belum lepas dari wajah cantik tepat didepan mata.
“Sebenarnya kau datang karena mengkhawatirkanku kan?”
Jung Ah mengerjapkan matanya cepat, tidak dapat mengelak bahkan setelah melihat senyum kekasihnya yang penuh percaya diri. Ia mengigit bibir lalu kepalanya bergerak, mengangguk pelan.
“Semenjak kau elah dipukul orang mabuk, aku berpikir tempat ini bukan tempat yang baik untuk bekerja. Sebaiknya kau berhenti saja dari sini.” ujarnya sedikit tak enak hati.
“Jung Ah...look at me!”
Wanita itu menahan nafas, dengan ling lung wajahnya mendongak pelan. Ia tercengang menemukan bibir Junsu masih tetap dengan senyuman lembut khas bahkan tatapan mata teduh seolah hanya ditunjukkan padanya.
“Aku tidak bisa berhenti dalam kondisi seperti ini. Meski harus mempertaruhkan nyawa sekalipun aku benar benar membutuhkan uang untuk hidupku dan Junho.”
Ekspresi Jung Ah berubah muram dan ia merasa lidahnya telah salah bicara. Entah mengapa ia tiba tiba dirinya seperti wanita tidak pengertian. Memalukan. Pikiran kalut penuh penyesalan terhenti tepat jemari Junsu menyentuh pipinya, mengusap pelan.
“Aku berterima kasih karena kau telah mencemaskanku, takut melihatku terluka lagi. Lain kali aku tidak akan membuatmu cemas dan takut lagi, mianhae..” sambung Junsu mencubit pelan pipi kekasihnya. “Ah! Kau harus mencoba ramyeon dikedai dekat sini. Mie-nya enak sekali. Aku akan mengambil istirahat sebentar dan makan disana, bersama sama.”
Perlahan bibir Jung Ah tersungging senyuman tipis, membalas kelembutan Junsu. Ia mengangguk pelan, mencoba memahaminya dan tidak ingin berbicara banyak lagi. Yang ia inginkan cuma satu, hanya ingin tetap berada disamping lelaki yang sudah memberi kepercayaan diri untuknya tetap bertahan hidup selain ibunya. Menjaga hati untuknya.
Junsu keluar dari area meja bar setelah bernegosasi singkat dengan rekan kerja, ia mengenggam tangan Jung Ah. “Aku sudah sangat lapar. Kajja..”
Jung Ah berlari kecil, menyamakan langkah Junsu yang tampak sangat kelaparan, genggaman tangan yang hangat dan semakin erat. Ia menyukai skinship seperti ini, membuatnya bahagia. Sebentar lagi ia akan melihat wajah Junsu bahagia saat melahap ramyeon. Ia akan menyukainya, pemandangan menyenangkan dimana ia terus menarik ujung bibir ke atas.
Selepas pasangan kekasih itu tidak menyadari sesosok lelaki lain tidak bergeming semenjak mereka berlalu bahagia, duduk membeku dibalik meja panjang bar. Dadanya bergemuruh dan berdentuman setiap uraian percakapan manis tertiup dipendengarannya. Ia menunduk menatap segelas liquor screwdriver yang dituang bartender barusan.
“Jung Ah” Bibir Yunho mengulang namanya. Aku sudah mengetahui namamu.
Gelap mata, digenggamnya gelas kaca itu seraya gemetar kemudian ia tenggak habis isinya. Matanya terpejam erat merasakan sensasi menyengat dari minuman beralkohol itu.
Seperti apa yang aku katakan dalam doaku, kita telah bertemu lagi dan itu berarti….
Hentakan keras gelas terhadap meja bar itu mengisi kesunyian dalam diri, terus berbicara dengan pikiran sendiri. Ia tidak akan pernah mengurungkan niatnya. Jika dirinya telah memulai sesuatu, maka ia melakukannya sampai akhir. Jung Yunho tidak pernah mengingkari apa yang sudah ia ingin perbuat.
..Aku harus memilikimu…
———————–
“Goodnight…”
Ucapan terakhir selalu diucapkan Junsu setiap malam yang didengar Jung Ah. Mereka baru saja kembali dari kedai mie dan Junsu memaksa ikut mengantarnya ke rumah. Dia terus terusan mengatakan situasi paling tidak aman adalah dimana wanita cantik berjalan sendirian tanpa penjaga bahkan terutama di malam hari, apalagi mengingat tingkat kriminalitas penculikan dan pemerkosaan juga semakin menakutkan. Sementara Jung Ah hanya tersipu mendengar alasan lelaki itu.
“Semoga pekerjaanmu lancar. Selamat bekerja keras!” sahut Jung Ah berjalan mendekati Junsu, tangannya membenarkan kerah kemeja seragam bartender. Terlalu dekat jaraknya sehingga ia bisa melihat kilauan tindikan anting disebelah telinga Junsu dalam kegelapan.
“Kau masuklah kedalam!” Junsu sengaja menunggu kekasihnya berjalan masuk kedalam rumah terlebih dahulu sebelum ia pergi.
Sebelum Jung Ah hendak menutup pagar rumah, ia melonggokkan kepala sebentar “Kau, pergilah! Jangan sampai boss-mu akan menangkap basah karena kau tiba tiba menghilang.” ujarnya menggoyangkan tangan, mengusirnya.
Junsu tidak merespon kecuali bergerak maju selangkah dari posisinya tadi berpijak. Dikecupnya kening Jung Ah secepat kilat. Ia perlahan mundur dan terdengar kekehan dari bibirnya. Wanita itu mengangkat kepalanya, menyentuh tepat dipelipisnya tanpa berkedip. Lelaki itu kemudian menghilang cepat kilat dari hadapannya, sudah berlari meninggalkannya setelah mengejutkannya.
“Geez…selalu saja tahu cara membuatku sulit bernafas.” gumamnya mengulum senyuman seraya menoleh ke samping, terlihat punggung Junsu semakin menjauh.
Mobil BMW sport terparkir tidak begitu jauh dan pemiliknya tidak beranjak sedikitpun dari posisinya. Duduk sedari awal menjadi penonton. Jemarinya mengetuk setir kemudinya, sementara sebelah tangannya menenggelamkan sebagian rahang dan belum puas melepaskan pengawasannya. Jung Ah sudah cukup lama lenyap dari balik pintu pagar, wanita yang tak sedikitpun sadar kehadirannya datang dan begitu sangat menginginkannya.
Yunho mengulurkan tangan kiri untuk mengambil ponsel touch. Menekan deretan angka untuk menghubungi salah satu bawahannya. Ia menempelkan ponselnya ditelinga, menunggu koneksinya tersambung.
“Cari semua data identitas dan latar belakang yang berhubungan dengan Kim Junsu, bartender club Silver dan Jung Ah, pekerja badut maskot taman bermain Everland. Kirimkan semua ke e-mail!”
Lelaki itu berujar datar tapi penuh penekanan dan langsung dimatikan ponselnya setelah mendengar jawaban yang penurut dari bawahannya. Perhatiannya kemudian berdalih kedepan mobilnya, bangunan rumah cukup sederhana dan didalam sana hanya ada seorang wanita hidup sendirian. Banyak celah jika dirinya ingin menyusup masuk kedalam, bisa saja menculiknya dengan mudah.
Ketukan jemarinya bergema dalam keheningan panjang. Tenggelam dalam khayalnya, membayangkan sosoknya secara nyata, aktifitas yang kemungkinan sedang wanita itu lakukan. Jung Ah sedang mencuci muka dan menggosok gigi, kemudian tubuhnya berganti dengan pakaian tidur dan menarik selimut.
Membayangkan saja sudah merinding, terlalu penasaran seperti apa wajahnya jika tertidur?
Tersungging senyum tipis membingkai wajah Yunho. Ia berbisik amat lembut, hampir tidak bersuara.
“Goodnight..slepp well, dear pretty clown.“
————————–
Ring ding dong…Ring ding dong…Ring diggi ding diggi..
Kesadaran Junsu terkumpul dengan cepat ketika alarm ponsel menusuk telinganya, membangunkan jam tidur dari pagi. Ia menyikap selimut dan mengusap wajah mengantuknya, berkali kali mengerjapkan kedua mata yang belum terbiasa dengan pancaran matahari dari ventilasi. Terdiam sejenak, tangannya meraba lantai seraya mencari cari ponsel dan segera mematikan alarm.
Menguap singkat dan meregangkan otot kakunya setelah bekerja semalaman sampai subuh. Ia beranjak berdiri dari kasur futon dan melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar, menyiapkan sarapan sekaligus makan siang.
“Pasti Junho masih di sekolah.” gumamnya sendiri setelah mengetahui jam menunjuk angka 11:15 AM.
Kedua kakinya melesat ruang tengah yang mencakup dapur, ruang makan dan ruang tv sekaligus. Ia bahkan tidur sekamar dengan namdongsaeng, Junho. Sudah terbiasa sendirian melalui hari hari dirumah sempit, sementara malam ia akan bekerja dan Junho mengurus segala pekerjaan rumah setelah pulang sekolah.
Pandangannya tersita oleh hidangan makanan diatas meja pendek yang biasa digunakan untuk makan atau tempat Junho mengerjakan tugas sekolah. Senyuman kecil tersungging diwajah Junsu meski terkesan sayu. Inilah keberuntungan memiliki Junho, adiknya selalu memberi perhatian setiap hari.
Disamping hidangan makan, Junsu menemukan note yang tertempel di meja.
Habiskan semua makanan yang sudah kupersiapkan! Hyung pasti sangat lelah dan butuh gizi baik. Tetap semangat demi hidup kita. Aku mencintaimu, hyung terbaik sedunia.
Junho Kim, namdongsaeng yang beruntung.
Junsu tidak berhenti tersenyum lebar dan duduk dihadapan meja pendek “Thanks, Junho. Hyung menyayangimu juga.” lirihnya mulai siap menyentuh semangkuk nasi dengan piring berisi ikan, kimchi dan sayur rebus.
Padahal makanan bukan hidangan mewah tapi terasa istimewa dan special. Junsu menyeka air mata harunya, mulai mengambil suapan besar nasi dan menelan bulat bulat. Ia jadi teringat Jung Ah, mereka yang memiliki perasaan sama, bertahan hidup demi seseorang tersisa didekatnya.
I Promise You nan nobakke moreujana
I Promise You nan no hanappunijana
sumi mojeul deuthe nan ije ottokhe
michin deusi sorichijana…
Lamunan Junsu langsung beralih ke ringtone ponselnya berbunyi nyaring. Langsung ditekan ‘answer‘ tanpa membaca nama penelpon.
“Yoboseyo..”
“Wah…sepertinya kau terdengar baik baik saja.”
Raut wajah Junsu berubah, menyadari suara orang paling dimusuhi menelponnya “Ada apa menelponku?” tanyanya sinis.
“Tidak ada tulang yang patahkan? Aku yakin kau tidak akan selemah itu.”
“Tidak perlu seperhatian itu, Tuan Jung Hyunsik. Jika ingin aku segera membayar utang appa-ku, tunggulah sampai akhir bulan.”
“Inilah sebabnya aku benci orang miskin yang selalu menyusahkan. Hanya merengkek dan mengulur waktu.”
Rahang Junsu mengeras, rasanya ia perlu menuangkan air dingin kekepalanya sendiri setiap harus berhadapan orang keji.
“Bersabarlah sebentar saja. Jebal!”
Terdengar suara kekehan Hyunsik seolah merendahkan. “Kau sudah terlalu melampaui batas kesabaran. Aku bukan orang baik.” ujarnya. “Ah..aku hampir lupa.”
Junsu tidak bersuara, menunggu kelanjutan ucapan Hyunsik selanjutnya.
“Kuberi sebuah kejutan. Kau akan melihat persembahan dariku segera. Tuut..tuut..“
Sambungan telepon langsung terputus setelah Hyunsik menutupnya. Kening Junsu berkerut dan menatap ponselnya sejenak. Kejutan apa yang direncanakannya?
Trrrtt..trrrt…
Ponselnya bergetar dan Junsu melihat tanda MMS masuk. Ia langsung membuka pesan gambar yang terkirim dan spontan kedua matanya membelalak. Hampir saja ponselnya lepas dari genggamannya dan tersadar kembali sesaat ketika Hyunsik menelponnya lagi, ia langsung mengangkatnya cepat.
“Bagaimana? Cukup bagus gambarnya.”
“Bajingan..kau menculik Junho.”
“Dia masih terlalu lugu. Sepertinya kau tidak mengajarinya untuk berhati hati pada orang asing.”
“Shit…jangan sentuh namdongsaeng-ku. Aku akan melakukan segalanya. Katakan apa maumu?”
Lagi lagi Hyunsik tertawa “Mudah sekali ternyata. Sudah kuduga dia kelemahanmu, keluarga memang paling berharga bukan.”
“A..apa dia baik baik saja disana? Kau tidak melakukan apapun kan?” Junsu bertanya panik bahkan nafasnya mulai naik turun.
“Seperti yang kau lihat foto itu. Dia masih nyenyak setelah obat bius bekerja, mungkin sebentar lagi bangun dan aku tidak tahu apa selanjutnya akan kulakukan padanya.”
Junsu memenjamkan mata, ketakutan “K..kumohon dia masih kecil, jangan lakukan apapun padanya.” lirihnya parau. “A…aku akan membayar secepatnya. Berjanjilah padaku, kau tidak menyakiti Junho.”
“Aku tidak bisa menjaminnya. Namdongsaeng-mu sudah menjadi urusan bodyguard dan aku tidak yakin apakah mereka akan bersikap kasar pada anak itu.” kata Hyunsik enteng. “Selamat berjuang! See you again.”
Klik..tut…tut…
——————————–
“Tidak bisa, Junsu. Sungguh Aku tidak bisa membantumu dengan uang sebesar itu.”
Im Seulong, Boss dari Club Silver menatap iba bartender barunya. Awalnya sempat dikejutkan kedatangan Junsu di tengah siang bolong, diluar jam kerja ataupun Club masih tutup. Lelaki itu mengedor pintu keras, berteriak memanggilnya seperti orang gila membuat kegiatan menghitung dana pengeluaran terganggu.’
“Aku mohon! Pasti akan kukembalikan nanti.” Suara Junsu berubah parau, sorot mata dipenuhi rasa ketakutan dan tiba tiba ia berlutut. “Cek senilai 50 juta won, aku sangat membutuhkannya.”
Seulong terkaget kaget mendapatkan sikap Junsu yang terlihat tidak beres. Ia bahkan tidak berkedip ketika lelaki itu berlutut, memohonnya keras. Hela nafas berat dihembuskan dan digaruknya kepala yang tidak gatal. Bingung.
“Junsu-sshi, angkat kepalamu!”
Kepala Junsu mendongak kearah boss-nya. Jantungnya berdentum keras, penuh harapan.
“Uang 50 juta won, aku memang memilikinya tapi tidak dapat kuberikan padamu.” kata Seulong mengeluarkan sebatang rokoknya dan mendesah berat. “Istriku akan di operasi, hidupnya bergantung pada itu. Mianhae.”
Kepala Junsu terasa kosong. Ia tidak bisa memaksa lagi dan perasaan terbayang bayang kegundahan yang mengerikan. Bahu Junsu melemas, tidak bertenaga lagi. Air mata mulai memenuhi matanya dan ia membungkukkan tubuh tanpa memperlihatkan tangis yang siap tumpah.
“Mianhamnida, boss.”
Sekonyong-konyong tubuh Junsu melangkah keluar dari gedung Club Silver. Ia meringgis dan mengacak kepalanya sendiri membuat pusingnya semakin hebat. Ayahnya telah terlilit dengan utang Jung Hyunsik demi menyelamatkan usaha bisnis yang hampir bangkrut dan pada akhirnya tetap tidak dapat terselamatkan.
Langkah langkah kecil terus berjalan, seluruh pikiran entah melayang kemana. Mencari segala cara apapun mendapatkan 50 juta won, bukan sejumlah uang sedikit dalam waktu secepatnya. Tanpa disadari mendengar suara mesin mobil yang melaju cepat dari kejauhan, Junsu menoleh dan pupil matanya melebar. Mobil itu bergerak amat sangat cepat bahkan menuju kearahnya.
Ckittttt…BRAKKK…
Tubuh Junsu nyaris terlempar tapi ia kini berbaring karena terlalu shock. Beruntung mobil itu langsung mengerem sebelum mengenai badannya. Nafas penuh kelegaan dihembuskan, bersyukur masih hidup. Ia segera bangun dari posisinya, ingin memaki pengemudi mobil mewah yang hampir saja menghilangkan nyawanya.
Raut wajah Junsu yang awalnya geram berubah terkejut. Si pengemudi keluar dari mobilnya dan menampakkan wajah yang tidak asing, ekspresi datar dan terkesan angkuh itu telah ditemuinya malam lalu, sipemesan liquor screwdriver. Nafas Junsu tertahan.
“Berapa uang yang kau butuhkan?”
“M..mworago?” Junsu mengerjapkan matanya cepat dan tercengang dengan nada bicara yang enteng dilontarkan pengemudi mobil BMW sport lalu dia tertawa kesal. “Yah…kau pikir bisa menyelesaikan segalanya dengan uang. Aissh…dasar orang kaya memang selalu seenaknya dan meremehkan segalanya.”
Sungguh…Yunho ingin menertawakan umpatan lelaki itu. Entah mengapa kata katanya terdengar lucu. Ia menggerakkan dagu, menyaratkan lelaki itu masuk kedalam mobilnya. Bibir Junsu mengangga, kepalanya menggeleng.
“Yah…apakah kata ‘mianhamnida‘ sangat mahal dimulutmu? Astaga…kau juga memerintahku masuk kemobilmu selain tidak meminta maaf atau merasa bersalah.”
Tidak dihiraukannya ocehan yang masih dikeluarkan Junsu. Ia masuk kedalam mobil, menunggu lelaki itu menuruti perintahnya dan kemudian akan membawanya kesuatu tempat.
—————————-
“Mengapa kau membuang waktuku dengan membawaku kesini?”
Yunho terkesiap lalu tersenyum tipis seolah tidak memedulikan pertanyaan Junsu, dihirupnya secara penuh aroma americano coffe pesanannya. Sementara Junsu terlihat sangat resah, bahkan tidak menyentuh sedikitpun secangkir coffe didepan mata.
“Tuan…aku harus segera pergi. Ada urusan yang harus kuselesaikan.” Junsu bangkit dari kursinya dengan ketus. “Permisi..”
“Harus pergi menyelamatkan namdongsaeng-mu.”
Junsu hendak memutar tubuhnya langsung membeku. Ucapan lelaki kaya itu membuat kaki terasa berat seolah tidak mampu beranjak pergi. Ia menoleh, menatap sinis seringaian diwajah lelaki pemilik mobil BMW sport.
“Jung Hyunsik.” Yunho meletakkan cangkir coffe. “Kau memiliki utang cukup besar padanya.”
“Bagaimana kau mengetahui hal itu?” tanya Junsu bersuara parau. “Kita tidak saling mengenalkan.”
“Tentu saja aku tahu.” sahut Yunho kemudian bersandar kebelakang, melipat kedua tangan didepan dada. “Aku adalah putra Jung Hyunsik.”
“Kau!”
Tenggorokan Junsu memekik cukup keras, mengetahui kenyataan dilontarkan dari lelaki didepannya. Baru tahu kenyataan bahwa ia sedang berbicara dengan putra dari lelaki yang dianggapnya tidak manusiawi.
“Bagaimana jika aku saja melunasi utangmu?” Yunho mencondongkan tubuhnya, sedikit berbisik. “Demi namdongsaeng-mu, kau butuh secepatnya bukan?”
Nafas Junsu tertahan, seiring keterkejutan kedua kali menerpanya.
“K..kau bisa menolongku?”
Ekspresi datar Yunho membuat Junsu ragu, namun Yunho segera mengiyakan pertanyaannya. Melihat respon lelaki itu, ia langsung mengangkat kedua ujung bibirnya lebar-lebar.
“Kamsahamnida, tuan. Kau sangat bermurah hati.” Junsu membungkuhkan kepalanya berkali kali, menunjukkan rasa berterima kasih dengan semangat. “Aku akan melakukan segala sesuatu untuk membalas kebaikanmu.”
Yunho menyeringai tipis. Akhirnya kata kata itu keluar juga. Dia pasti mengatakannya persis dugaannya. Berjalan sesuai rencana, gumaman dalam benaknya.
![]()
“Benarkah? Melakukan apapun?”
“Tentu saja.” Junsu mengangguk, kedua matanya berubah penuh keantusiasan. “Katakan saja!”
Tiba tiba tatapan Yunho berubah, sedikit lebih dingin seakan selalu memancarkan karakternya yang sulit dibaca. Tangannya merogoh saku dibalik jas kasualnya dan mengeluarkan selembar potret diatas meja.
“Wanita ini.” Suara Yunho terdengar datar tapi penuh ketegasan. “Aku ingin memilikinya.”
Pandangan Junsu mengarah potretan wanita sedang berdiri ditengah taman bermain Everland sambil melepaskan topeng maskot. Ia terentak, jelas disitu adalah foto kekasihnya yang sepertinya telah diambil secara diam diam.
“Dia kekasihmu kan?” Yunho bersuara lagi, mengenyakkan perhatian Junsu. “Hanya menyerahkan dia padaku, timbal baliknya aku akan menyelamatkan namdongsaeng-mu.”
“Tidak. Aku tidak bisa melakukannya.”
“Wah…ternyata kau cukup keras kepala juga.” Yunho mengangkat pundaknya, tak acuh. “Meski nyawa namdongsaeng-mu berada ditangan musuh, kau lebih memilih mempertahankan perasaanmu. Ironis sekali.”
Kata kata Yunho yang mengintimindasi hingga Junsu tidak bisa berkata sepatah kalimat lagi. Ia merasa dunianya berputar putar, berada dalam dua pilihan sulit dan keduanya mampu menjerumuskannya kedalam jurang jika harus memilih salah satunya. Dirasakan senyuman Yunho yang merasa menang setelah berhasil memporakgandakan perasaannya.
Yunho bangkit dari kursi, mengeluarkan kartu nama dihadapan Junsu lalu mencondongkan sedikit tubuhnya, berbisik pelan.
“Tentukan pilihan terbaik lalu hubungi nomor ini. Aku yakin kau tidak akan berbuat bodoh.”
Seketika kedua telinga Junsu memanas. Tangannya mengepal keras diatas lutut, termenung dalam pergolakan dalam pikirannya. Ia tiba tiba membuka mulut, menyergah kepergian Yunho sebelum akan meninggalkan meja lebih jauh.
“Kau ternyata tidak berbeda dengan aboji-mu. Mempermainkan nasib orang lain lalu menginjak injaknya.”
Langkah Yunho terhenti ketika mendengar kalimat sangat menusuk ditelinganya. Kepalanya menoleh kebelakang, bibirnya tersenyum mengejek.
“Kurasa itulah sebabnya ada pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohon.”
Tanpa berbicara lebih lanjut lagi, Yunho beringsut pergi dan membiarkan Junsu terperangah dikursi. Rasanya ia terlalu kejam tapi dirinya tidak akan peduli hati orang lain selama menginginkan sesuatu. Salah satu bagian karakter dirinya yang cukup menakutkan.
——————————–
Sore menjelang malam secerah kondisi hatinya. Perpaduan warna oranye, kuning dan merah melebur hangat di langit, menciptakan keanggunan dunia. Jung Ah tak lelah sekalipun tersenyum lebar didepan cermin rias, menyisir rambutnya yang dihias bando mutiara. Sesekali memutar tubuhnya, mengamati keseluruhan dress vintage selutut berwarna broken white membalut dirinya.
Pakailah baju terbaikmu dan berdandanlah secantik mungkin, kita pergi kencan malam ini.
Alasan membuatnya lebih bersemangat adalah kata kata kekasihnya melalui telepon. Junsu mengajak kencan, dada berdegup kencang seiring kebahagiaan seperti kembang api menyala serentak di malam tahun baru. Perlu dipersiapkan hatinya dan menjaga diri untuk tidak terlalu terhanyut dalam euphoria.
Ting tong..
Bel hanya berbunyi sekali, Jung Ah segera melesat dan membuka pintu dengan ceria. Lelaki dibalut kemeja hitam yang dilipat bagian siku dengan celana jeans abu abu. Gaya santai tapi menawan sehingga pipi Jung Ah bersemu setelah tercengang beberapa detik.
“Hello cantik…” sahut Junsu pertama kali, memberi decakan kagum ketika kedua matanya memandangi keseluruhan penampilan Jung Ah.
Junsu meraih jemari kiri Jung Ah, membagi kehangatan satu sama lain. Wanita itu tersenyum seiring langkah mereka mulai meninggalkan rumahnya. Berperilaku selayaknya pasangan kekasih secara nyata. Jung Ah menyukainya, selalu menikmati skinship dan waktu kebersamaan yang seandainya dapat dihentikan oleh waktu.
Tatapan Junsu beralih sebentar pada mata kekasih cantiknya sedang menatap lurus kedepan, ekspresi bahagia terlukis jelas. Sejenak wanita itu juga menoleh, membalas pandangannya secara intens dan mengeluarkan lengkungan senyum termanis.
Sulit berhenti mengagumi bagaimana cara kedua mata Jung Ah menatapnya, penuh kelembutan. Bagaimana jantung nyaris meledak bila senyuman itu tertuju padanya mampu membuat banyak lelaki iri padanya. Tidak pernah bosan menelusuri lekuk wajahnya seolah terlahir untuk membuat siapapun refleks berpikir tentang gambaran malaikat.
Membayangkan keseluruhan rasa kagumnya mengingatkan ia lelaki paling beruntung ketika Jung Ah menerima pernyataan cinta. Sudah berlalu dua tahun masih mempertahankan hati masing masing, berbagi emosi dan perasaan tak terhitung.
Sejenak Junsu menyadari satu hal. Dapatkah hidup seperti ini sampai akhir?
“Kita akan kemana?”
Pertanyaan Jung Ah melenyapkan lamunannya. “Kau akan mengetahuinya sebentar lagi.”
“Apakah itu rahasia?” Wanita itu bertanya lagi dengan mata melebar, mengekspresikan keterkejutan. “Ah… Apa kau akan mempersiapkan sesuatu special untukku seperti drama romance?”
Junsu hanya membalas dengan senyum tipis dan wajah sedih. Dirasakannya lubang didada semakin besar. Perih.
“Disini…”
Jung Ah terkesiap, kepalanya mendongak ke bangunan pecakar langit ditengah tengah kawasan elit. Dilihatnya pula orang orang berpakaian branded atau mobil mewah berseliweran keluar masuk dari gedung. Ia menoleh takjub kearah Junsu. “Kita akan kesini?”
Lelaki itu sekadar mengangguk. Jung Ah bisa melihat raut wajah Junsu yang menjadi aneh dimatanya meski dia bersikap normal seakan tidak terjadi apapun. Instingnya mengatakan kekasihnya sedang menyembunyikan banyak hal darinya. Firasat entah terasa berubah.
Junsu memundurkan tubuhnya saat wanita itu menahan pergelangan tangannya. “Ada apa?”
“Jangan disini. Terlalu mahal untuk kita.” ujar Jung Ah mengigit bibir bawahnya.
Melihat gurat wajah Jung Ah yang cemas dan resah, Junsu terdiam sejenak, menarik nafas dalam dalam untuk tidak terbawa pengaruh dengan keraguannya. Dipaksakannya memberi senyum terbaik.
“Sesekali kita nikmati bagaimana cara hidup orang kaya. Hanya makan disini, okay?”
Sejenak Jung Ah mempertimbangkan ajakannya, semenit kemudian ia mengangguk setuju. Dieratkan genggamannya Junsu selama berjalan masuk kedalam, tidak ingin lepas dan merasa jantung semakin berdegup lebih cepat. Tubuhnya bergetar resah tanpa alasan.
Lift bergerak ke lantai atas setelah Junsu menekan tombol. Lelaki itu menatap lurus, tidak sedikitpun melirik wajah Jung Ah. Dirasakannya ketidaktenangan wanita itu melalui genggaman tangan membuatnya harus menahan sejenak hembusan nafasnya.
Langkah kakinya perlahan berjalan keluar dari lift, diikuti Jung Ah. Sepanjang lorong dilewatinya beberapa pintu yang tertutup hingga sampai berhenti tepat dipintu paling ujung. Ia mendesah dan merasa nafasnya semakin berat, sakit sampai ke ulu hati.
“Masuklah kedalam!”
Jung Ah menatapnya sebentar, penuh pertanyaan. Ia kemudian memutar kenop pintu tersebut dan membukanya perlahan. Secara tiba tiba Junsu menarik tubuh Jung Ah sehingga tubuhnya terseret kedalam pelukan dan tanpa sengaja, tangan wanita itu mendorong lebih lebar pintu.
Kepala Jung Ah terdongak setelah dipeluk Junsu dari belakang. Ia menahan nafas, tenggorokannya tercekat menyadari ada orang lain diruangan itu. Seorang lelaki asing kini tengah menatapnya tajam. Menakutkan.
“Siapa dia?” tanya Jung Ah sehingga tangan Junsu dipinggangnya terlepas.
“Maafkan aku, yakinilah…aku mencintaimu.” Junsu berujar lemah, diremasnya pundak wanita itu dan berusaha mengeluarkan suara yang rasanya sulit keluar. “Berbahagialah tanpaku, dia pasti akan merawatmu dan membuatmu hidup dalam kecukupan.”
“Ada apa sebenarnya? Kau membuatku bingung.” Jung Ah tidak mengerti situasi yang terjadi.
“Aku harus meninggalkanmu disini.” Junsu menahan diri dari desakan panas dikedua bola matanya. “Maafkan aku. Selamat tinggal.”
Jung Ah terlonjak, apalagi disaat saat Junsu melepaskan genggamannya, beringsut pergi dalam langkah gontai bahkan ia tidak memperlihatkan wajahnya setelah mengatakan kalimat perpisahan. Wanita itu terdiam, tidak berkutik dan berusaha mencerna segalanya. Ditelusurinya punggung Junsu yang mulai akan menghilang dari pandangannya.
Perih bercampur kesakitan yang menyerang dadanya seiring tubuhnya limbung, bersimpuh dilantai. Tidak bisa berbuat apa apa, air matanya menggenang dipelupuk mata. Ia mencintai Kim Junsu dan sekarang lelaki itu telah mengakhirinya pula.
Kepalanya mendongak, menatap seorang lelaki bertubuh tegap yang sudah berdiri dihadapannya. Ditengah tengah pandangan yang buram, ia bertautan sejenak dengan kedua manik es dimata lelaki itu.
“Aku sebenarnya benci tangisan wanita tapi untukmu, aku akan membiarkannya”
Lelaki itu menekuk kakinya, sengaja menyejajarkan dirinya dengan tubuh wanita itu agar bisa melihat lebih jelas wajahnya. Sudut bibir Yunho tersungging kecil, disekanya air mata Jung Ah yang meleleh dipipi.
“Jangan menangisi lelaki itu. Dia bahkan sudah menyerahkanmu padaku dengan pembayaran 50 juta won.”
Jung Ah tertegun, sekonyong konyong desakan panas kembali melingkupi dadanya. Dijual kekasihnya sendiri. Rasanya itu tidak bisa dipercaya. Ia langsung menepis kasar tangan Yunho.
“Jangan berbicara sembarangan! Junsu bukan orang seperti itu.”
“Huh…orang sebaik apapun jika berada dalam keadaan terdesak maka ia akan menempuh segala cara bahkan kotor sekalipun.”
“Tidak mungkin. Aku tidak mau dengar omong kosong.”
Yunho bergeming melihat Jung Ah berteriak histeris seraya menutup kedua telinganya. Ia tidak dapat melakukan apapun, kecuali menatapnya datar. Tidak tahu cara menghentikan tangisnya dikala itu.
“Aku harus pergi mengejarnya.” Jung Ah beranjak dari posisinya, hendak melangkah keluar dari ruangan.
BUK….
Cukup keras punggungnya membentur dinding sehingga Jung Ah meringgis kesakitan. Ia kemudian menahan nafas, seolah oksigen dalam saluran pernafasannya tersendat. Disadarinya posisinya dikunci oleh lelaki itu, kedua tangan terkepal, bertumpu ke dinding di sebelah kepalanya itu.
“Aku tidak suka jika kamu berlari untuk menemui lelaki lain.”
Tiba tiba tatapan Yunho berubah, sedikit dingin dan terlihat lebih menyeramkan dibandingkan beberapa menit lalu. Ditekannya leher Jung Ah, lalu memajukan wajahnya. Alih alih memandangi setiap lekuk wajah wanita yang tampak memucat, ketakutan.
“Sebenarnya siapa kau?” Suara Jung Ah bergemetar.
Lelaki itu menampilkan satu sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas smirk. Didekati bibirnya ditelinga Jung Ah, berbisik.
“Aku cuma lelaki hidupnya tidak berguna yang terpikat seorang wanita hanya karena balon merah”
—Red Ballon (First Meeting) _THE END—-
Author’s Note:
Maaf untuk kesekian berapa kalinya, kalian pasti capek dengan keterlambatanku yang bahkan juga ceritanya mungkin tidak memenuhi harapan kalian. Buat yang selalu bertanya tanya kapan Yunho dan Jung Ah ketemu,alasan Junsu terpaksa menyerahkan Jung Ah, semua sudah terungkap disini. Warning…mungkin ada beberapa typo sebab biasanya saya mengerjakan ff sebelum tidur.
For BGBR last part, Maybe I’ll post it next week. Last, ada salam dari cowok jutek.
![]()
Thank you for waiting! Comment please~!